Jump to content

User:Khenang/Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

From Wikipedia, the free encyclopedia

SEKILAS DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

A. Gambaran Umum

CUSTOMS (Instansi Kepabeanan) di mana pun di dunia ini adalah suatu organisasi yang keberadaannya amat essensial bagi suatu negara, demikian pula dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Instansi Kepabeanan Indonesia) adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting dari negara dalam melakukan tugas dan fungsinya untuk :

1. Melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang berbahaya;

2. Melindungi industri tertentu di dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat dengan industri sejenis dari luar negeri;

3. Memberantas penyelundupan;

4. Melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang berkepentingan dengan lalu lintas barang yang melampaui batas-batas negara;

5. Memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor secara maksimal untuk kepentingan penerimaan keuangan negara.


B. Peran Kebijakan Fiskal di Bidang Kepabeanan


Seperti diketahui bahwa perkembangan perdagangan internasional, baik yang menyangkut kegiatan di bidang impor maupun ekspor akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesatnya kemajuan di bidang tersebut ternyata menuntut diadakannya suatu sistem dan prosedur kepabeanan yang lebih efektif dan efisien serta mampu meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen. Dengan kata lain, masalah birokrasi di bidang kepabeanan yang berbelit-belit merupakan permasalahan yang nantinya akan semakin tidak populer.

Adanya kondisi tersebut, tentunya tidak terlepas dari pentingnya pemerintah untuk terus melakukan berbagai kebijaksanaan di bidang ekonomi terutama dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Apalagi dengan adanya berbagai prakarsa bilateral, regional, dan multilateral di bidang perdagangan yang semakin diwarnai oleh arus liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan investasi, sudah barang tentu permasalahan yang timbul di bidang perdagangan akan semakin kompleks pula.

Perubahan-perubahan pada pola perdagangan internasional yang menggejala dewasa ini pada akhirnya akan memberikan peluang yang lebih besar bagi negara maju untuk memenangkan persaingan pasar. Disamping itu, pola perdagangan juga akan berubah pada konteks Borderless World, atau paling tidak pada nuansa liberalisasi perdagangan dan investasi dimana barriers atas perdagangan menjadi semakin tabu.

Untuk itu, kebijaksanaan Pemerintah dengan disahkannya UU No.10/1995 tentang Kepabeanan yang telah berlaku secara efektif tanggal 1 April 1997, yang telah direvisi dengan UU No. 17/2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan, jelas merupakan langkah antisipatif yang menyentuh dimensi strategis, substantif, dan essensial di bidang perdangangan, serta diharapkan mampu menghadapi tantangan-tantangan di era perdagangan bebas yang sudah diambang pintu.

Pemberlakuan UU No.10/1995 tentang Kepabeanan juga telah memberikan konsekuensi logis bagi DJBC berupa kewenangan yang semakin besar sebagai institusi Pemerintah untuk dapat memainkan perannya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pengguna jasa internasional ( termasuk dengan tidak diberlakukannya lagi pemeriksaan pra-pengapalan atau pre-shipment inspection oleh PT. Surveyor Indonesia, dan sepenuhnya dikembalikan kepada DJBC), yang nota bene bahwa kewenangan tersebut adalah kewenangan Customs yang universal, serta merupakan konsekuensi logis atas keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi GATT Agreement maupun AFTA, APEC, dan lain-lain.

Berbagai langkah persiapan telah dan terus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kerangka acuan yang diinginkan oleh ICC yang pada dasarnya mengajukan kriteria-kriteria yang sebaiknya dimiliki oleh Customs yang sifatnya modern.

Dengan beralihnya fungsi dan misi dari Tax Collector menjadi Trade Facilitator , maka sebagai institusi global, DJBC masa kini dan masa depan harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat umum yang bercirikan save time, save cost, safety, dan simple. Semua ciri tersebut harus menjadi bagian yang integral dari sistem dan prosedur kepabeanan, jika DJBC ingin berperan dalam upaya pembangunan ekonomi secara umum dalam era persaingan yang semakin tajam, era liberalisasi perdagangan dan investasi serta globalisasi dalam arti seluas-luasnya.

Sejalan dengan itu, semakin beragamnya sentra-sentra pelayanan baik dari segi perlindungan terhadap Intellectual Property Rights, anti dumping, anti subsidi, self Assessment, maka secara ringkas DJBC diharapkan dapat do more with less ( berbuat lebih banyak dengan biaya lebih rendah ). DJBC juga dituntut untuk melakukan pelayanan yang time sensitive, predictable, available ( saat dibutuhkan ) dan adjustable.

Totalitas pelayanan ini kerangka dasarnya bersumber pada fenomena speed and flexibility sebagai formula penting. Hal yang terpenting adalah bagaimana mengubah visi masa lalu yang amat dominan bahwa revenue collection dan law enforcement akan selalu mengakibatkan terhambatnya arus barang sehingga akan menimbulkan High Cost Economy yang pada konsekuensi selanjutnya mengakibatkan produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing di area perdagangan internasional. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa bussiness operation akan semakin tergantung pada performance Customs dimanapun. Effisiensi usaha mereka juga tergantung pada mutu dan kecepatan pelayanan Customs.

Kegagalan Bea dan Cukai dalam menekan High Cost Economy tidak saja akan mengakibatkan kegagalan ekonomi Indonesia untuk menjerat oppotunity, mengubah keuntungan komparatif menjadi keuntungan kompetitif, tetapi juga secara substansial dapat mengakibatkan larinya para investor yang semula akan melakukan investasinya di Indonesia dengan segala implikasi ekonomis negatif lainnya.

Keinginan dan tuntutan dari para pengguna jasa internasional tersebut adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi, dan sudah menjadi kewajiban moral bagi DJBC untuk melakukan berbagai perubahan yang cukup mendasar, baik dari segi penyempurnaan organisasi dan tatalaksana DJBC, simplifikasi dan sekaligus transparansi sistem dan prosedur Kepabeanan, serta pengembangan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan nantinya terdapat suatu keselarasan dengan jiwa dan kepentingan dari UU Kepabeanan itu sendiri.

Sebagai produk hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, maka bentuk UU Kepabeanan yang bersifat proaktif dan antisipatif ini sangatlah sederhana namun memiliki jangkauan yang lebih luas dalam mengantisipasi terhadap perkembangan perdagangan internasional.

Hal-hal baru berupa kemudahan di bidang kepabeanan juga diatur, seperti penerapan sistem self Assessment, dan Post entry Audit yang merupakan back-up sistem atas sistem self Assessment. Post audit yang tidak lain bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan dari para pengguna jasa, ternyata juga mampu berperan ganda yaitu mengoptimalkan penerimaan negara dan meningkatkan kelancaran arus barang.

Disamping itu, untuk memberikan alternatif kepada para pengguna jasa dalam penyerahan pemberitahuan pabean, diterapkan pula EDI-system atau yang lebih dikenal dengan Electronic Data Interchange.

Adanya kemudahan-kemudahan di bidang kepabeanan ini juga telah menunjukkan kesungguhan DJBC untuk benar-benar serius dalam melakukan reposisi peran dan fungsinya dalam meningkatkan kualitas kualitas pelayanan, khususnya kepada para pengguna jasa kepabeanan.

References

[edit]
[edit]